Ikan asin dan cumi asin merupakan lauk yang banyak dikonsumsi masyarakat, terutama karena harganya terjangkau dan mudah diolah. Namun hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa tidak semua produk tersebut aman dikonsumsi.
Seorang mahasiswa Program Studi S1 Gizi Universitas Alma Ata Yogyakarta (Niza Aryanti) melakukan penelitian pada 15 pasar tradisional di wilayah Kota Yogyakarta. Ia mengumpulkan 75 sampel ikan teri asin dan cumi asin untuk diuji menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif di laboratorium.
Hasilnya cukup mengkhawatirkan. Dari 75 sampel yang diuji, sebanyak 28 sampel atau 37,3% positif mengandung formalin. Formalin adalah bahan kimia berbahaya yang seharusnya tidak digunakan dalam makanan. Dalam dunia kesehatan, formalin dikenal sebagai zat desinfektan dan pengawet jaringan, bukan pengawet pangan.
Jenis sampel yang ditemukan mengandung formalin antara lain ikan teri nasi, ikan teri tawar, ikan teri jengki, dan cumi asin jantan. Setelah diuji lebih lanjut, kadar formalin yang terukur juga cukup tinggi, yaitu:
– Ikan teri nasi: rata-rata 84,45 ppm
– Ikan teri tawar: rata-rata 81,92 ppm
– Ikan teri jengki: rata-rata 76,4 ppm
– Cumi asin jantan: rata-rata 89,96 ppm
– Cumi asin telur: 0 ppm dan dinyatakan aman
Temuan ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan formalin masih berlangsung di tingkat pedagang pasar. Oknum biasanya menambahkan formalin agar produk terlihat lebih bersih, cerah, tidak berbau, dan tahan lama meski disimpan pada suhu ruang. Meskipun tampak lebih menarik, makanan ini sebenarnya membawa risiko besar bagi kesehatan.
Paparan formalin pada makanan dapat menyebabkan mual, muntah, gangguan pencernaan, iritasi, kerusakan ginjal dan hati, hingga meningkatkan risiko kanker jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Proses memasak seperti menggoreng atau merebus tidak mampu menghilangkan kandungan formalin pada makanan.
Untuk itu, masyarakat diimbau lebih berhati-hati ketika membeli ikan asin. Produk yang mengandung formalin biasanya memiliki ciri-ciri tidak berbau khas ikan asin, warna sangat bersih, tekstur keras, dan tahan lama tanpa pendingin. Jika menemukan produk dengan ciri tersebut, sebaiknya dihindari.
Penelitian mahasiswa ini menjadi bukti bahwa edukasi dan pengawasan pangan masih sangat penting dilakukan. Selain meningkatkan kesadaran konsumen, temuan ini juga diharapkan mendorong pengawasan yang lebih ketat terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya dalam makanan.
Membangun sistem keamanan pangan yang kokoh dimulai dari pendidikan yang berkualitas. Bagi Anda yang tergerak untuk berkontribusi dalam program-program gizi nasional dan menjadi ahli yang mampu mencegah risiko keracunan pangan, Program Studi S1 Gizi Universitas Alma Ata adalah jawabannya.
Belajar langsung dari para ahli akan mempersiapkan Anda menjadi profesional yang kompeten dan mampu menjadi garda terdepan dalam menjamin mutu dan keamanan pangan untuk masyarakat. Jadilah bagian dari solusi masalah gizi bangsa dengan wawasan keamanan pangan yang unggul. Kuliah di S1 Gizi Universitas Alma Ata.


